Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa
kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran
jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk
atau mendoakan kejelekan bagi mereka.
Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa
kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran
jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk
atau mendoakan kejelekan bagi mereka.
Sesuatu
yang sudah lazim untuk diketahui, orangtua harus membimbing
anak-anaknya. Mereka butuh diarahkan, diajari, ditegur dan diluruskan
bila mereka salah atau lupa. Semua itu tak lain untuk kebaikan masa
depan si anak; masa depan di dunia dan masa depan di akhirat.
Kadang
kala yang terjadi, orangtua sudah mengerahkan segala upaya untuk
mengajari dan membimbing, namun si anak tetap membandel dan ‘kepala batu’. Entah apa lagi cara yang harus ditempuh, seakan-akan semua jalan telah buntu.
Memang,
mencetak seorang anak menjadi anak shalih yang selalu menyenangkan
hati bukanlah semata hasil kerja keras orangtua dan pendidik. Semua
usaha yang ditempuh hanyalah merupakan sebab-sebab yang dilakukan untuk
mencapai tujuan itu. Adapun yang membuat hati si anak terbuka untuk
menerima pengarahan serta bimbingan orangtua dan orang-orang yang
mendidiknya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya
engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang
engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun
yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Dalam
ayat-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau –lebih-lebih lagi
selain beliau– tidak akan mampu memberikan hidayah kepada seseorang,
walaupun dia orang yang paling dicintai. Tak seorang pun mampu
memberikan hidayah taufik dan menancapkan iman dalam hati seseorang. Ini
semata-mata ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang
memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui,
siapa yang pantas mendapatkan hidayah dari-Nya hingga nanti Dia berikan
hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkannya hingga Dia biarkan
orang itu dalam kesesatannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)
Cobalah
renungkan, bagaimana upaya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam dalam
mengembalikan umatnya pada tauhid. Selama 950 tahun beliau mengajak
mereka dengan berbagai cara– untuk meninggalkan penyembahan berhala dan
hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Namun anak beliau
sendiri tidak mau menyambut seruan mulia sang ayah, sampai saat-saat
akhir kehidupan umat yang durhaka itu. Air bah yang meluap
menenggelamkan semua yang ada. Nabi Nuh ‘alaihissalam memanggil anaknya yang enggan turut naik ke bahtera:
وَنَادَى نُوْحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِيْنَ
“Dan
Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku!
Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang
kafir’.” (Hud: 42)
Namun
apalah daya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki, si anak
ini tidak mendapatkan petunjuk. Tetap dengan kesombongannya dia menolak
ajakan ayahnya, hingga berakhir dengan kebinasaan, ditelan oleh
gelombang air bah yang datang:
قَالَ
سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ
الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا
الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ
“Dia
berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari
air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi
dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun
menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang
yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Menyaksikan anaknya turut tenggelam, timbul rasa iba sang ayah, hingga Nabi Nuh ‘alaihissalam pun berdoa kepada Rabbnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan menyatakan bahwa anaknya bukanlah orang yang beriman sehingga termasuk orang-orang yang ditenggelamkan:
وَنَادَى
نُوْحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ
وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ يَا نُوْحُ
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ
تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ
مِنَ الْجَاهِلِيْنَ
“Dan
Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan
Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh,
sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan),
sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah
engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya
Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (Hud: 45-46)
Demikianlah keadaannya. Seorang nabi pun tidak dapat menyelamatkan anaknya dari kekafiran bila si anak tidak dibukakan hatinya untuk menerima keimanan.
Di
sisi lain, sangatlah mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
memberikan petunjuk pada hamba yang Dia kehendaki, walaupun hamba itu
dikepung oleh kaum yang berbuat syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala
kisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan taufik kepadanya untuk bertauhid:
وَكَذَلِكَ
نُرِي إِبْرَاهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلِيَكُوْنَ
مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ. فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا
قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لاَ أُحِبُّ اْلآفِلِيْنَ.
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ
قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ
الضَّالِّيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي
هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيْءٌ مِمَّا
تُشْرِكُوْنَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Dan
demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang
ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin.
Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata, ‘Inilah
rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak
suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia
berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia
berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti
aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat
matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala
matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang menyekutukan-Nya’.” (Al-An’am: 75-79)
Hanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dapat memberikan hidayah dan melindungi
seorang anak dari kejelekan. Oleh karena itu, semestinya orangtua
menyadari bahwa tak boleh semata bersandar pada hasil usaha mereka.
Namun mereka harus menengadahkan tangan dan memohon kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan doa seorang yang telah mencapai umur 40 tahun:
رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ
وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي
فِي ذُرِّيَّتِي
“Wahai
Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
karuniakan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan untuk melakukan
amal shalih yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan kepadaku dengan
kebaikan anak keturunanku.” (Al-Ahqaf: 15)
Tatkala
dia berdoa untuk kebaikan dirinya, dia mendoakan pula anak
keturunannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebaikan pada
segala keadaan mereka. Disebutkan dalam ayat ini bahwa kebaikan anak
cucu akan kembali manfaatnya bagi kedua orangtua mereka, berdasarkan
firman-Nya وَأَصْلِحْ لِي. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 781)
Demikian yang dimohon oleh hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
“Wahai
Rabb kami, anugerahkanlah bagi kami pasangan-pasangan hidup dan
keturunan sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Nabiyullah
Zakariyya ‘alaihissalam ketika memohon keturunan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala pun meminta agar Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan anaknya nanti sebagai anak yang shalih, yang mendapatkan
keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa:
فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا. يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Maka
anugerahkanlah bagiku dari sisi-Mu seorang anak yang akan mewarisiku
dan mewarisi keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, wahai Rabbku, seorang
yang diridhai.” (Maryam: 5-6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan permohonan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam dengan memberikan seorang anak yang shalih:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Wahai
Zakariyya, sesungguhnya Kami memberimu kabar gembira dengan lahirnya
seorang anak yang bernama Yahya, yang belum pernah Kami menciptakan
seseorang yang serupa dengannya.” (Maryam: 7)
Begitu pula Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau
berdoa untuk kebaikan dirinya dan putranya Isma’il ‘alaihissalam
beserta keturunan mereka tatkala membangun fondasi Baitullah:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ
“Wahai
Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah diri
kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang yang
berserah diri kepada-Mu.” (Al-Baqarah: 128)
Beliau ‘alaihissalam juga berdoa:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. Wahai Rabbku, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)
Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
agar menjaga diri dan keturunan beliau dari kemaksiatan terbesar kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kesyirikan. Beliau ‘alaihissalam
memohon:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (Ibrahim: 35)
Demikianlah yang dilakukan oleh para nabi. Mereka mendoakan anak cucu mereka agar meraih masa depan yang baik dan terhindar dari hal-hal yang membinasakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi
dan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia, mencontohkan
pula hal ini. ‘Umar bin Abi Salamah, putra Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhuma menuturkan:
نَزَلَتْ
هَذِهِ اْلآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
{إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا} فِي بَيْتِ أُمِّ سَلَمَةَ، فَدَعَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ وَحَسَنًا
وَحُسَيْنًا فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ وَعَلِيٌّ خَلْفَ ظَهْرِهِ
فَجَلَّلَهُ بِكِسَاءٍ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِي
فَأَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا
“Turun ayat ini kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan
dosa-dosa dari diri kalian wahai ahlul bait, dan menyucikan kalian
sesuci-sucinya’ di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain
lalu menyelubungi mereka dengan kain, dan ‘Ali di belakang beliau lalu
beliau selubungi pula dengan kain. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah,
mereka adalah ahlu baitku, maka hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan
sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3787, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)
Beliau
pernah pula mendoakan cucu beliau, Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu
‘anhuma. Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:
رَأَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيٍْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ
عَلَى عَاتِقِهِ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ
“Aku pernah melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan menggendong Al-Hasan di
atas pundak beliau. Beliau mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku
mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3849 dan Muslim no. 2422)
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seringkali mendoakan anak-anak para
shahabat radhiyallahu ‘anhum. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma
menceritakan:
أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُهُ وَالْحَسَنَ فَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ أَحِبَّهُمَا فَإِنِّي أُحِبُّهُمَا
“Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memelukku bersama Al-Hasan lalu
mendoakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, maka
cintailah mereka’.” (HR. Al-Bukhari no. 3735)
Abdullah
bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan pula saat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya, setelah dia mengambilkan air
wudhu untuk beliau. Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ilmu yang luas kepadanya:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْخَلاَءَ
فَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا قَالَ: مَنْ وَضَعَ هَذَا؟ فَأُخْبِرَ،
فَقَالَ: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Pernah
suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat
buang air. Lalu kuletakkan air wudhu untuk beliau. (Ketika selesai)
beliau pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Lalu beliau diberitahu
(bahwa aku yang melakukannya). Kemudian beliau mendoakan, ‘Ya Allah,
berikanlah dia pemahaman terhadap agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 143 dan Muslim no. 2477)
Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjadi salah seorang ulama di kalangan
shahabat. Sampai-sampai ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu
menempatkannya bersama para tokoh shahabat ketika Ibnu ‘Abbas masih
belia. (Fathul Bari, 7/127)
Dalam
kehidupan shahabat, ada Ummu Sulaim bintu Milhan radhiyallahu ‘anha,
ibu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang begitu besar keinginannya
agar anaknya mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Dia
serahkan sang anak untuk melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan meminta doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk anaknya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
دَخَلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ
أَنَا وَأُمِّي وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي، فَقَالَتْ أُمِّي: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، خُوَيْدِمُكَ، ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ: فَدَعَا لِي
بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ:
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah kami dan di situ
hanya ada aku, ibuku dan Ummu Haram bibiku. Ibuku mengatakan, ‘Wahai
Rasulullah, ini pelayan kecilmu. Doakanlah dia’. Kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan untukku segala kebaikan, dan di
akhir doa beliau untukku, beliau berkata, ‘Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya, serta berikanlah barakah kepadanya’.” (HR. Muslim no. 2481)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa
beliau, hingga Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang
dirinya, “Hartaku sungguh banyak, sementara anak cucuku mencapai
sekitar seratus orang sekarang.” (HR. Muslim no. 2481)
Apabila
orangtua merasakan beban kesempitan dan kesusahan karena ulah
anak-anak, hendaknya berlapang dada dan memaafkan, serta mendoakan agar
si anak mendapatkan kebaikan. Sesungguhnya doa orangtua termasuk doa yang akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentang hal ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ
“Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR. Abu Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan)
Doa kebaikanlah yang semestinya dipanjatkan ketika itu, bukan cacian atau bahkan doa kejelekan. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mendoakan kejelekan
terhadap anak-anak. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ
تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ
تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً
يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبَ لَكُمْ
“Jangan
mendoakan kejelekan bagi diri kalian, jangan berdoa kejelekan bagi
anak-anak kalian, dan jangan pula berdoa kejelekan bagi harta kalian.
Jangan sampai ia bertepatan dengan saat Allah yang jika diminta suatu
permintaan saat itu pasti akan Dia kabulkan.” (HR. Muslim no. 3009)
Bisa jadi seseorang menepati saat dikabulkannya doa,
hingga dikabulkan permohonannya. Ini banyak terjadi ketika marah. Saat
marah, terkadang orang mendoakan kejelekan untuk dirinya, atau kadang
pada anaknya. Dia katakan, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
membinasakanmu!’ atau ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
balasan yang jelek kepadamu!’, ataupun yang semisal itu. Sampai-sampai
ada yang mendoakan anaknya agar mendapat laknat! Nas`alullahal ‘afiyah.
(Syarh Riyadhish Shalihin, 4/33)
Akibatnya,
bukan semakin baik si anak, namun semakin rusak. Semakin jauh dari
kebenaran dan semakin suram pula masa depannya. Tak ada kebahagiaan
hidupnya di dunia, terancam pula kehidupannya di akhirat kelak. Na’udzu
billahi min dzalik!
Cukup
sudah bagi kita, para orangtua, teladan yang termaktub dalam Al-Kitab
dan As-Sunnah. Semestinya kita menyadari, segala kebaikan anak kita
Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberikannya. Hingga semestinya
pula kita memulai untuk melazimi doa untuk kebaikan mereka. Wallahu Ta’ala a’lamu bish-shawab.
Dikutip
dari: http://www.asysyariah.com, Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman
Bintu ‘Imran, Judul: Doaku Sepanjang Hidupmu
http://qurandansunnah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar