Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/membuat-teks-berjalan-di-menu-bar.html#ixzz1hBO1bMTJ

Welcome




Efek Daun

Bintang

Rabu, 22 April 2009

Perasaan Merasa Berdosa


Induk Kemaksiatan
Imam Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata, “Induk kemaksiatan, bagi kecil maupun besar, ada tiga:

Pertama, keterikatan hati dengan selain Allah, yang tidak lain adalah syirik.
Kedua, menuruti dorongan emosi, yaitu dzalim.
Ketiga, menuruti kekuatan syahwat yang tidak lain adalah berzina.

Sasaran terakhir hati dengan selain Allah Ta’ala ialah syirik dan mengklaim ada Tuhan baru selain Allah Ta’ala. Sasaran terakhir menuruti dorongan emosi adalah membunuh. Dan, sasaran akhir menuruti kekuatan syahwat ialah zina. Ketiga hal itu disebutkan Allah Ta’ala secara bersamaan di ayat berikut,

‘Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina.’ (Al-Furqan: 65).”

Ketiga induk kemaksiatan di atas punya banyak cabang, yang tidak diketahui meyoritas manusia dan mereka tidak menyadari itu dosa yang wajib ditinggalkan. Di antara manusia ada orang yang perasaannya terhadap dosa telah mati, bahkan terhadap dosa-dosa besar sekalipun. Ia sama sekali tidak menganggap besar sebagai dosa besar. Itulah hati yang telah ditutup dengan sumbatan. Akibatnya, hati itu tidak punya nurani dan perasaannya mati, hingga tidak dapat merasakan apa-apa.

Akrab dengan Kemungkaran
Barangkali, sebab utama problem tidak merasa berdosa pada orang tertentu ialah karena akrab dengan kemungkaran, sebab terlalu sering dikerjakan. Hal ini persis dengan keakraban kita dengan makhluk-makhluk Allah yang besar, seperti langit, apa saja yang ada di dalamnya, bumi berserta apa saja yang ada di atasnya, sebab kita sering melihatnya. Kita baru merasa heran saat mendengar seseorang mendarat di bulan. Kita juga langsung heran ketika ada temuan-temuan baru. Tapi, kita lupa pada sesuatu yang lebih hebat dari temuan-temuan manusia, sebab kita terbiasa melihat makhluk-makhluk Allah itu. Dosa-dosa juga seperti itu jika terlalu sering dikerjakan. Hati menjadi akrab dengannya dan tidak lagi memungkirinya. Inilah yang paling ditakutkan Abu Al-Hasan Az-Zayyat Rahimahullah. Ia berkata:

“Demi Allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab, jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika jiwa telah akrab dengan sesuatu maka jiwa itu jarang tidak terpengaruh dengannya.”

Tidak merasa dihukum Allah
Yang lebih berbahaya dari sikap akrab dengan kemungkaran ialah sikap tidak peduli dengan hukuman, hingga sampai taraf tidak merasa apa yang telah dikerjakan. Mari kita dengar penuturan Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah tentang orang yang sampai pada tahap ini:

“Ketahuilah, ujian paling besar ialah merasa aman tidak akan mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi, hukuman datang belakang. Hukuman paling berat ialah seorang tidak merasakan hukuman itu, lalu hukuman merengut agama, memberangus hati, dan jiwa tidak punya kemampuan memilih dengan baik. Di antara efek hukuman ini ialah tubuh segar bugar dan seluruh keinginan tercapai.”

Contoh lainnya ialah seseorang sudah sekian lama tidak mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah dan ia menganggap biasa dosa ini (tidak shalat Shubuh ber-jama’ah). Ia merasa hatinya tidak sakit dan tahan bantingan menghadapi derita dosa ini. Padahal, generasi pertama Islam mengunjungi sebagian dari mereka yang tidak shalat Shubuh berjama’ah. Barangsiapa sampai pada taraf tidak merasa mendapatkan hukuman dosa, maka kondisinya mengkhawatirkan. Sebab, bisa jadi, itu menjadi cikal bakal “kejatuhan” dirinya dan bukan mustahil ia kembali ke jalan kesesatan. Menurut Ibnu Al-Qayyim, itulah “pembunuhan”. Lebih lengkapnya, Ibnu Al-Qayyim berkata, “Dosa itu luka dan bisa jadi menyebabkan kematian.”

Generasi Sahabat Khawatir Kebaikan mereka tidak diterima Allah
Ada aspek lain yang amat diperhatikan generasi pertama Islam dan jarang di antara kita yang sampai pada tahap ini, yaitu khawatir kebaikan mereka tidak diterima. Tentang generasi tabi’in, salah seorang dari mereka, Al-Hasan Al-Bashri, berkata:

“Aku pernah berjumpa dengan orang-orang yang lebih menghindari hal-hal yang dihalalkan Allah daripada upaya kalian menghindari hal-hal yang diharamkan Allah. Aku juga pernah bertemu orang-orang yang lebih takut kebaikan-kebaikan mereka tidak diterima Allah daripada ketakutan mereka kepada kesalahan-kesalahan mereka.”

Itulah generasi terbaik yang tidak pernah ada lagi untuk kedua kalinya. Mereka tidak seperti kita, yang hanya shalat malam beberapa raka’at dan berinfak dengan beberapa keping uang recehan, lalu mengira sudah berbuat banyak!

Hati yang Hidup
Generasi pertama Islam orang-orang yang berhenti hidup, hati mereka sulit dikotori, dan cinta dunia gagal merusak perasaan berdosa yang mereka miliki. Salah seorang dari mereka selalu ingat satu dosanya selama empat puluh tahun dan merasakan dampaknya. Ubaidillah bin As-suri meriwayatkan perkataan salah seorang generasi tabi’in, Al-Qudwah bin Sirin, yang berkata, “Aku tahu dosa apa yang membuatku dililit hutang. Empat puluh tahun silam, aku pernah berkata kepada seseorang ‘Hai orang bangkrut’.”
Tidak ada seorang pun yang sanggup ingat dosa yang telah terjadi empat puluh tahun yang silam, melainkan orang yang dosanya sedikit, lalu mampu menghitungnya. Ketika kisah tersebut diceritakan Abu Ubaidillah bin As-Suri kepada Abu Sulaiman Ad-Darani, lalu Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, karena itu, ia tahu dari mana datangnya. Sedang dosa-dosaku dan dosa-dosamu banyak. Oleh sebab itu, kita tidak tahu dari mana datangnya.

Begitulah, mereka selalu merasa berdosa. Bahkan, mereka mengaitkan dosanya dengan ujian yang menimpanya. Ibnu Al-Jauzi meriwayatkan dari salah seorang generasi salaf bahwa seseorang memaki dirinya, lalu orang salaf itu menempelkan pipinya ke tanah, sambil berkata, “Ya Allah. Ampunilah dosaku. Karena dosaku, engkau membuat orang ini berkuasa atas diriku.”
Jika mereka tidak dapat melakukan aktivitas ibadah, mereka merasa itu disebabkan dosa yang telah mereka kerjakan. Abu Dawud Al-Hafri berkata, “aku masuk ke rumah Kuez bin Wabira dan mendapatinya menangis. Aku bertanya kepadanya, ‘kenapa Anda menangis?’ Kurz bin Wabirah menjawab, ‘Pintuku tertutup, kehormatanku ternoda, dan tadi malam aku gagal membaca Al-Qur’an seperti biasanya. Itu semua gara-gara satu dosa yang telah aku kerjakan’.”

Manusia yang Paling Hebat Ibadahnya
Orang-orang seperti di atas pantas digelari asy-syahid dan pakar tafsir, Sa’in bin Jubair, sebagai orang-orang yang paling hebat ibadahnya. Ketika ditanya, “Siapa manusia yang paling hebat ibadahnya?” Said bin Jubair menjawab, “Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya maka ia memandang kecil amal perbuatannya.”
Itu orang yang hanya mengerjakan satu dosa. Bagaimana dengan orang yang tidak pernah mengerjakan satu pun dosa dan menangisi sebab gagal beramal shalih serta menduga itu disebabkan dosa yang telah dikerjakannya? Bagaimana mungkin dai yang berhati keras dapat disejajarkan dengan mereka? Pantaskah dalam kondisi hati keras itu kita minta kemenangan atas kebatilan?

Renungankanlah……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ilmu takan datang sendiri kalau kita tidak mencarinya